Selasa, 17 Mei 2016

Batasan Agama, Kebudayaan dan Hubungannya (Makalah)



Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam
Toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.
Konsep Toleransi Dalam Islam
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama Rahmatal lil’ Alamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”  
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan. yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu menjauhi konflik.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu. Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menjauhkan dari semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”
Faktor yang Mempengaruhi Praktik Agama
Setiap agama mengajarkan dan memerintahnya kepada umatnya, untuk mematuhi norma-norma yang sudah ditetapkan sebagia sebuah ajaran. Pelaksanaan pengamalan ajaran agama yang sudah disistematisasikan dalam keimanan dan ibadah, ada yang masuk kedalam kategori wajib dan ada yang masuk kedalam ketegori sunnah. Dalam pelaksanaan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah, tetap saja merupakan amalan yang mulia bagi manusia dihadapan Tuhan. Pembeda “wajib dan sunnah”, kadar dan posisinya saja berbeda, dan untuk tahap implementasinya ada kesamaan. Namun ketika iman dan ibadah tersebut diletakkan di alam realitas sosial kemanusiaan, menjadi beragam wujudnya karena dipengaruhi beberapa nilai-nilai sosial dan kultural yang ada dimasyarakat itu sendiri.
Untuk mengampu tanggung jawab sebagai seorang muslim setidaknya ada dua pintu masuk. Pertama, seorang dikatakan beragama Islam, dan memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan ibadah, terhitung seseorang itu bersyahadat melakukan pengakuan atas kebenaran Allah sebagai zat yang berhak disembah, dan pengakuan atas Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Pengakuan dan  kesaksian atas kebenaran Allah dan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan makna tekstual, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”, yang kemudian dalam Islam disebut dua kalimat syahadat, menjadi salah satu pilar penting pintu masuknya seseorang beragama Islam dan dikenai peraturan Islam.
Kedua, pintu masuk kedua khusus anak-anak yang sejak kecil lahir menjadi muslim, lahir dari keluarga muslim, belajar agama Islam, dan tidak pernah keluar dari agama Islam, maka hukum wajib berlaku ketika anak sudah baligh (dewasa). Dengan berlakunya hukum wajib kepada orang yang sudah bersyahadat, dan ketika usia anak menjadi dewasa, maka sejak itu realitas sosialnya juga harus ditata dengan mengggunakan norma Islam. Itu artinya setiap orang sudah bersyahadat dan anak-anak yang menjadi dewasa harus menaggung konsekuensi sebagai muslim dengan menjalankan ibadah wajib dan sunnah. Yang lebih penting lagi adalah ketika seorang muslim harus konsisten menjalankan amal ibadah untuk mencari keridlaan-Nya sebagaimana diperintahkan Allah AWT.
Penciptaan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya, menurut Al-Ghazali merupakan kemurnian sifat dasar manusia. Manusia lahir kedunia dalam keadaan baik, dan untuk mendatangkan kebaikan, tetapi ia harus memelihara dan mengembangkan kebaikannya secara maksimal. Dalam diri manusia ada benih kebaikan dan keburukan, jika kebaikan yang dipelihara maka manusia akan menjadi atau mempunyai sifat yang baik.
Doktrin Islam yang meliputi hukum wajib, hukum sunnah dan hukum sosial dengan segala perangkatnya sama-sama memiliki konsekuensi kebaikan dan keburukan. Seseorang yang tidak mau menjalankan ibadah wajib, maka yang bersangkutan hukumnya orang menjadi dosa. Apabila seseorang melaksanakan ibadah, maka hukumnya dia menjadi orang yang berpahala. Padahal amal ibadah seseorang akan diberikan oleh Allah seberapapun pelanggaran yang ditempuhnya, kadar dosanya juga akan diberikan kepada yang bersangkutan. Ada faktor lain yang bisa mempengaruhi praktik pengalaman ajaran agama, diantaranya adalah:

a.      Faktor sejarah. Proses perjalanan waktu telah menunjukkan adanya perubahan, dimulai dari kondisi alam, faktor interaksi sosial, akulturasi agama dan kebudayaan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi dalam menentukan praktik pengalaman ibadah. Tidak menutup kemungkinan pelaksanaan praktik agama pada masa lalu masih menjadi bagian yang dilestarikan dalam Islam.
b.      Fungsi agama. Agama pada tingakatan bagi individu dan sosial memberikan sumbangannya untuk mewujudkan adanya kesalehan pribadi dan kesalehan sosial sekaligus, karena setiap manusia akan menjalankan perintah-perintah agama sampai pada titik kesempurnaannya. Agama menjamin kelancaran hubungan antara individu dengan Tuhan. Nottingham juga menyebut manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan memelihara sampai batas minimal. Agama memiliki daya paksa untuk melaksanakan kewajiban, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem sosial yang utuh dan terpadu. Kemudian agama juga telah memainkan peran vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat adat istiadat (Nottingham, 1997: 35-36).
c.       Kesadaran dan pemahaman terhadap agama. Agama satu sisi memberikan kelonggaran kepada umatnya untuk menjalankan ajaran agama dengan suka rela tanpa paksaan. Namun pada kondisi tertentu, Islam memberi kewenangan yang ketat dan memainkan peran daya paksanya untuk mewujudkan sebuah kestabilan sosial. Namun secara sosiologis, praktik pengalaman agama itu sangat dipengarugi  oleh adanya kesadaran dan pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Proporsi kesadaran dan pemahaman agama memang menjadi lebih dominan ketimbang daya paksanya untuk pengamalan praktik agama. Pemberian peringatan dalam pengamalan ajaran Islam, lebih bersifat pendidikan untuk mendorong lahirnya sebuah kesadara. Islam kemudian memberikan daya paksanya ketika keringanan yang sudah diberikan Allah sama sekali tidak diindahkan, dan ada kecenderungan untuk dilanggarnya, maka sebuah konsep zalim diberlakukan, sehingga dengan terpaksa Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang berbuat dosa.
Batasan Mengenai Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri-ciri khusus dari sebuah kebudayaan yang masing-masing masyarakat yang berbeda. Pada masyarakat Barat makan sambil berjalan, bahkan setengah berlari adalah hal yang biasa karena bagi mereka the time is money. Hal ini jelas berbeda dengan masyarakat timur. Jangankan makan sambil berjalan, bahkan makan berdiri saja sudah melanggar etika. Walaupun demikian, secara garis besar, seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki sifat-sifat hakikat yang sama. Sifat-sifat hakikat kebudayaan sebagai berikut:
  • Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia. 
  • Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 
  • Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya. 
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Bertemunya Agama dan Budaya
Agama dan budaya memang dalam praktik keseharian harus menunjukkan tingkat keharmonisannya, meski tanpa harus menghilangkannya jati dirinya masing-masing, karena agama bersumber dari keyakinan dan kebenaran hakiki yang tidak mungkin lebur dalam sebuah kebudayaan yang memiliki sifat relatifistik di tengah perubahan sosial. Agama dan budaya memungkinkan melakukan kerja bersama untuk mengantisipasi “masalah kemanusiaan” yang akan terjadi di era globalisasi. Problem-problem universal tentang kemanusiaan tersebut, merupakan pilihan yang paling mungkin untuk mempertemukan antara agama dan budaya.
Dalam kaitan persoalan atau lebih spesifik bisa ditanggulangi secara bersama, sebagai akibat dari kemajuan zaman, manjadi tidak krusial ketika umat Islam juga ikut ambil bagian dalam manghadapi persoalan yang mungkin timbul di masyarakat. Isu-isu modernisasi dan globalisasi dengan segala efek-efeknya, bukan menjadi alasan pembenar untuk tidak tampil menjadi penjembatan pengurai persoalan. Manusia budaya akan selalu tampil dengan problematikanya, dan kemapuan mengurai menjadi lebih bermanfaat, sehingga tatanan kehidupan menusia menjadi lebih tertata.
Transformasi sosial yang pasti terjadi di masyarakat berbudaya, harus sama-sama dijaga oleh kelembagaan agama dan sosial. Peran ini jelas untuk mencari jalan keselamatan sebagai bentuk sumbangan agama terhadap kebudayaan agar tidak mengalami kepunahan. Dalam kasus ini jelas kehadiran umat Islam mutlak diperlukan, ketika gempuran modernisasi terus menyerbu ke jantung-jantung tradisi, yang mengakibatkan budaya berada dalam nadir dan terus diselamatkan. Dalam konteks ini jelas eksistensi agama menjadi bagian penting, dan harus mendominasi pemikiran-pemikiran yang memiliki relefansi dengan kebudayaan.
Islam dengan tawaran pembaharuan dan langkah-langkah pembaharuan dan langkah penyempurnaan terhadap setiap budaya dan tradisi yang ada, pada prosesnya akan bertemu pada sebuah kebersamaan dan saling memberi manfaat. Langkah strategis inilah yang mempertemukan agama Islam sebagai sumber inspirasi kemajauan kebudayaan dengan masyarakat yang memiliki tanggung jawab pengelola dan sekaligus penjaga kebudayaan.
Agama dalam kebudayaan
Kebudayaan tidak bisa disamakan dengan agama, tapi kebudayaan tidak bisa dipisahkan dalam proses kreatif dan inovatif manusia dalam kesehariannya, karena pada praktiknya manusia membutuhkan agama dan kebudayaan sekaligus sebagai sarana penyempurna dirinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Sementara agama dalam membangun basis kultural di masyarakat juga akan membutuhkan agama dalam upaya menunjukkan eksistensinya. Posisi saling membutuhkan ini, akan menunjukkan hubungan keduanya bisa menemukan pola yang ideal, yaitu saling melengkapi dan saling mendukung pada wilayah religio-kultural dalam kehidupan manusia.
Kebudayaan dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide-ide, gagasan, kelakuan sosial, dan benda-benda kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia untuk mencapai sebuah kemajuan baik dalam lingkup individu dan kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan dalam hasil penciptaan manusi. Kebudayaan ada bersama dengan adanya manusia berkarya, sehingga menghasilkan produk-produk kebudayaan, baik sifatnya material maupun immaterial. Manusia akan menemukan dan menghasilkan kebudayaannya, ketika masing-masing manusia memainkan peran kreatifitasnya untuk mewujudkan apa yang ada dalam benak pikirannya menjadi alam realitas (Poespowardojo, 1993: 110)
Kemampuan manusia mewujudkan alam pikiran menjadi alam realitas yang diproduk menjadi “kebudayaan” yang tidak pernah berhenti, sudah menjadi tugas kekhalifahan yang disanggupinya, ketika makhluk lain tidak sanggup menanggungnya.
Manusia memang dilengkapi oleh Allah hal-hal berkaitan dengan kecerdasan, ide, pemikiran, rasa serba ingin, tingkah laku, dan perbedaan perilaku diantara manusia. Semua ini merupakan satu sistem yang mengarah kepada proses yang akan menghasilkan kebudayaan monumental sebagai hasil konkret usaha manusia.
Bertemunya agama dan kebudayaan dalam diri manusia, dimana agama akan masuk dalam keyakinan dan kebudayaan, maka titik utama berada pada ide atau  gagasan secara universal yang sedang dibangun, sehingga tidak terjadi kontra produktif dengan sejumlah daftar keinginan manusia.
Hadirnya agama dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia, karena kebudayaan sama-sama melekat pada manusia. agama dan kebudayaan saling mempengaruhi secara timbal balik. Rukun Iman melampaui rasionalitas manusia, mau Islam atau kafir adalah pilihan sadar manusia. Setiap manusia diperintah untuk menggunakan akalnya, ini adalah perintah berbudaya. Dan akhirnya Islam dan budaya adalah dua hal yang hidup bersama tanpa pertentangan. Diskusi antara agama dan kebudayaan merupakan tema yang tidak akan ada habisnya, dan selalu menarik untuk dikaji, karena memang keduanya bersifat dinamis, dan harus mampu memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi manusia. Kedekatan hubungan antara agama dan kebudayaan sebagai wujud perilaku manusia menuju kesempurnaan.     


Agama dan Budaya dalam Fakta Sosial
     Dialetika agama dan budaya di mata masyarakat muslim secara umum banyak melahirkan penilaian subjektif-pejoratif. Sebagian bersemangat untuk menseterilkan agama dari kemungkinan akulturasi budaya setempat, sementara yang lain sibuk membangun pola dialetika antar keduanya. Keadaan demikian berjalan secara periodik, dari masa ke masa. Terlepas bagaimana keyakinan masing-masing pemahaman, yang jelas potret keberagamaan yang terjadi semakin menunjukkan suburnya pola akulturasi, bahkan sinkretisasi lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialetika antar agama dan budaya itu, dalam Islam terlihat pada fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan dari tradisi Islam murni.
     Fenomena dialetika secara empirik dapat di amati secara riil dalam tradisi keberagaman masyarakat muslim misalnya, pada pola relasi para peziarah muslim kejawen dengan cultural space (medan budaya) makam yang ada di wisata ritual tertentu. Dari proses dialetika itu secara umum dapat di ketahui bahwa karakteristik peziarah muslim kejawen memiliki banyak keunikan dan daya Tarik tersendiri. Unik dalam arti adanya kompleksitas dan pluralitas ekspresi keberagamaan yang bernuansa mistis, baik dari cara pemahaman keagamaan maupun perilaku keberagamaannya. Misalnya dengan mendatangi medan budaya tertentu yang dianggap sakral, keramat maupun suci, dan menyakini bahwa tempat tersebut berpotensi memberikan berkah kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari tempat tersebut.
     Agama yang ada di masyarakat itu ada kalanya tampil dengan ekspresi yang sangat unik dan beragam. Keunikan itu terlihat terutama ketika mereka menganggap dan meyakini bahwa alam itu sebagai subjek, yaitu memiliki kekuatan, petuah, pengaruh dan sacral. Kayakinan ini pada gilirannya memanifestasi menjadi praktik mitos yang sangat subur di kalangan mereka. Sementara itu agama teks senantiasa mengembalikan secara autentik keyakinan mereka kepada hal yang lebih abstrak, yaitu doktrin Allah berupa wahyu.
     Praktik keberagamaan para peziarah di atas, dalam realitasnya seringkali mengundang perdebatan serius di kalangan masyarakat muslim. Sebagian komunitas mengatakan bahwa perilaku seperti ini adalah syirik, khurafat, takhayul, karena dalam praktiknya mereka selalu meyakini adanya kekuatan selain dan di luar Tuhan. Kegiatan tersebut acapkali diklaim sebagai perilaku bid’ah, karena perilaku spiritual yang demikian tidak ada landasan yang jelas dari Islam. Lebih dari itu komunitas inisemakin memperkokoh komitmen keagamaannya untuk memberantas praktik ritual maupun praktik mitis senada. Komunitas inilah yang seringkali di sebut dengan kelompok muslim puritanis.
     Namun demikian, terdapat juga komunitas lain yang mementahkan pandangan di atas, yang mengatakan bahwa praktik seperti itu dianggap sah-sah saja dalam agama. Sebab untuk sampainya komunikasi kepada tuhan bagi komunitas ini di perlukan adanya perantara, yang dalam bahasa Islam di kenal dengan istilah wasilah (perantara). Menurut keyakinan kelompok ini, wasilah tersebut seringkali terdapat di tempat-tempat suci, sacral yang mereka datangi.
     Sementara itu muncul pula kelompok lain yang lebih ekstrem yang mengatakan bahwa perilaku seperti itu, menurut komunitas ini hanya akan membuat umat Islam malas kerja. Bagi kelompok ini, umat Islam yang ingin kaya tidak ada jalan lain kecuali kerja keras, ulet, tekun dan tawakal.
     Keberagaman ekspresi keberagamaan di atas, baik yang muncul dari komunitas masyarakat muslim kejawen itu sendiri maupun dari subjektifitas penilaian keagamaan yang datang dari luar komunitasnya, pada hakikatnya menunjukkan adanya perbedaan cara pandang tentang tarik menarik pola relasi agama dan budaya di maksud. Melalui cara ini, sebagian di antara mereka optimis bahwa Islam akan lebih berkembang secara efektif. Sementara yang lainnya justru sebaliknya. Islam akan berkontaminasi dengan keruhnya budaya luar, dan secara perlahan akan menggeser keaslian Islam itu sendiri.
Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam
“Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Demikian diungkapkan oleh H.A. Gibb dalam bukunya yang terkenal Wither Islam. Pengakuan senada juga banyak diberikan oleh pakar Islam dari kalangan Barat. Jika pihak Barat banyak memberikan pengakuan yang kurang lebih sama, konon lagi dari kalangan Islam sendiri, seperti keyakinan umum yang berkembang di kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama yang universal dan komprehensip meliputi berbagai bidang (Q.S.16:89), meskipun penjelasannya ada yang bersifat rinci dan garis besar. Oleh sebab itu, Islam disebut juga sebagai agama yang “hadir di mana-mana”, sebuah pandangan yang meyakini bahwa di mana-mana kehadiran Islam selalu memberikan panduan etik yang benar bagi setiap tindakan manusia.
Ajaran Islam yang demikian telah mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban dunia. Ayat-ayat Alquran memang banyak memberikan dorongan kepada umat manusia bagi pengembangan kebudayaan.
Sifat akomodatif Islam terhadap budaya tidak berarti bahwa Islam menerima begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada. Karena jika demikian Islam seolah-olah dipahami tidak memiliki nilai-nilai dasar bagi pengembangan kebudayaan. Karena itu pertanyaan selanjutnya adalah dalam hal apa Islam dapat berakulturasi dan dalam batas apa yang tidak? Apakah Islam melalui ajaran-ajaran dasarnya mendukung bagi pengembangan kebudayaan? Sejauhmana peran yang dimainkan umat Islam bagi pengembangan kebudayaan? Bagaimana model akulturasi antara agama dan budaya yang ditawarkan Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dikaji berdasarkan perspektif kerukunan.
Dasar-Dasar Islam dalam Pengembangan Budaya.
Ada sejumlah prinsip dasar yang terkandung di dalam Alquran dan Hadist, sehingga umat Islam dapat mengembangkan kebudayaan secara maksimal. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
  1. Penghargaan terhadap akal fikiran
Islam menempatkan akal fikiran dalam posisi yang tinggi, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Ali Imran:190, 191. Yang artinya Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S.3:190,191).

  1. Anjuran menuntut ilmu
Anjuran atau dorongan Islam agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan ini antara lain dijelaskan dalam surah al-Mujadalah: 11 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S.58:11).
Hadis nabi berbunyi: ”Menuntut Ilmu itu wajib atas tiap-tiap orang Islam, laki-laki maupun perempuan”.Dalam hadis lain juga dinyatakan: “Tutntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
  1. Larangan untuk taklid
Kecaman Allah terhadap orang yang taklid antara lain dijelaskan Alquran sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra: 36 yang artinya Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(Q.S.17: 36).
  1. Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
Penghargaan Islam akan nilai suatu kreasi dijelaskan lewat keterangan hadis nabi: “Barangsiapa memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan mendapat ganjaran orang-orang yang mengerjakan cara yang baik itu sampai hari kiamat”.
  1. Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Dorongan agar manusia berhasil di dalam kehidupan dunia dijelaskan oleh Alquran surat Al-Qashas:77 yang artinya Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S.28: 77).

Motivasi yang diberikan Alquran dan Hadis Nabi dalam hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti telah menghasilkan pretasi budaya yang luar biasa. Puncaknya sebagaimana terlihat pada masa Abbasiah yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Islam. Prestasi demikian didukung oleh peran penguasa Islam (khalifah), yang memberikan perhatian terhadap pengembangan budaya. Para ilmuwan sangat dilindungi, diberikan perhatian yang istimewa oleh para penguasa tanpa memandang latar belakang ilmuwan tersebut: apakah beragama Islam atau tidak, bangsa Arab atau tidak.
Tidak hanya itu, orang-orang yang kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk pengembangan budaya Dengan kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya, terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh umat Islam tersebut meliputi berbagai bidang keilmuwan, seperti medis, astronomi, fisika, matematika, arsitektur, dan ilmu-ilmu lain di samping ilmu agama. Ilmuwan-ilmuwan yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu tersebut di antaranya adalah Ibn Rusyd, Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina (kedokteran), Al-Mawardi (tata negara), Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar Khayyam (matematika), dan lain-lain.
Akulturasi Islam dan Budaya di Indonesia
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau lokal tradition (tradisi lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi lokal, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan lokal genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain lokal genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya lokal.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur lokal. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercusuar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya lokal dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cerita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya lokal pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya lokal nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
  1. PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pengkajian makalah diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa antara agama dan budaya itu saling mempengaruhi satu sama lain. Batasan-batasan agama juga merupakan aspek penting dalam hal ini, batasan agama merupakan ketentuan bagi umat muslim untuk tidak sewenang-wenang dalam melakukan suatu perbuatan karena di dalam agam Islam sendiri mempunyai suatu landasan hukum yang berlaku yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan dalam batasan budaya merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan atau dipatuhi didalam masyarakat tertentu karena didalam batasan budaya ada sebuah norma-norma yang terdapat di masyarakat.
Kebudayaan tidak bisa disamakan dengan agama, tapi kebudayaan tidak bisa dipisahkan dalam proses kreatif dan inovatif manusia dalam kesehariannya, karena pada praktiknya manusia membutuhkan agama dan kebudayaan sekaligus sebagai sarana penyempurna dirinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Sementara agama dalam membangun basis kultural di masyarakat juga akan membutuhkan agama dalam upaya menunjukkan eksistensinya. Posisi saling membutuhkan ini, akan menunjukkan hubungan keduanya bisa menemukan pola yang ideal, yaitu saling melengkapi dan saling mendukung pada wilayah religio-kultural dalam kehidupan manusia.
Hadirnya agama dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia, karena kebudayaan sama-sama melekat pada manusia. agama dan kebudayaan saling mempengaruhi secara timbal balik. Rukun Iman melampaui rasionalitas manusia, mau Islam atau kafir adalah pilihan sadar manusia. Setiap manusia diperintah untuk menggunakan akalnya, ini adalah perintah berbudaya.
  1. DAFTAR PUSTAKA
M. Thoyibi, dkk. 2003. Sinergi Agama dan Budaya Lokal. Surakarta: Muhammadiyah University Press.  
Abdullah, Amin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Roibin. 2009. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang: UIN-Malang Press.
Ummatin, Khoiro. 2015. Sejarah Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Kalimedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar