Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam
Toleransi adalah
konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling
bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara
etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan
konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran
agama-agama, termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat
beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” ,
“Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh
populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang
tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam
sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi
dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam
itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam
karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para
ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik
kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Menurut ajaran Islam, toleransi
bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta,
binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam
ini, maka toleransi antar umat
beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi
beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap
Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga
menyedot perhatian besar dari Islam.
Konsep
Toleransi Dalam Islam
Secara doktrinal, toleransi
sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”,
“selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering
dirumuskan dengan istilah “Islam agama Rahmatal lil’
Alamîn” (agama yang mengayomi seluruh
alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah
ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam
menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah
kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman yang artinya, “dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?”
Di bagian lain Allah mengingatkan,
yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu
umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Daku (saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu
tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini
mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam
juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah
menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli
Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan. yaitu bahwa
kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada
apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain
sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat beragama
(terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari
perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga
mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu
sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat
jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar umat
beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu menjauhi konflik.
Saling menghargai dalam iman dan
keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip
ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah
melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Selain itu,
hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “sayangilah
orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu”. Persaudaran
universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini
menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam
suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep
keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menjauhkan dari semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat
ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh
mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi
Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi
beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak
saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam
Madinah.
Sikap melindungi dan saling
tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam
sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang
melibatkan Tuhan. Namun,
prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah
teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di
dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah
dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang
alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia
menciptakan manusia…”
Faktor
yang Mempengaruhi Praktik Agama
Setiap agama mengajarkan dan
memerintahnya kepada umatnya, untuk mematuhi norma-norma yang sudah ditetapkan
sebagia sebuah ajaran. Pelaksanaan pengamalan ajaran agama yang sudah
disistematisasikan dalam keimanan dan ibadah, ada yang masuk kedalam kategori
wajib dan ada yang masuk kedalam ketegori sunnah. Dalam pelaksanaan ibadah baik
yang wajib maupun yang sunnah, tetap saja merupakan amalan yang mulia bagi
manusia dihadapan Tuhan. Pembeda “wajib dan sunnah”, kadar dan posisinya saja
berbeda, dan untuk tahap implementasinya ada kesamaan. Namun ketika iman dan
ibadah tersebut diletakkan di alam realitas sosial kemanusiaan, menjadi beragam
wujudnya karena dipengaruhi beberapa nilai-nilai sosial dan kultural yang ada
dimasyarakat itu sendiri.
Untuk mengampu tanggung
jawab sebagai seorang muslim setidaknya ada dua pintu masuk. Pertama, seorang
dikatakan beragama Islam, dan memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan
ibadah, terhitung seseorang itu bersyahadat melakukan pengakuan atas kebenaran
Allah sebagai zat yang berhak disembah, dan pengakuan atas Nabi Muhammad SAW
sebagai Rasulullah. Pengakuan dan
kesaksian atas kebenaran Allah dan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan
makna tekstual, “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”, yang kemudian dalam Islam
disebut dua kalimat syahadat, menjadi salah satu pilar penting pintu masuknya
seseorang beragama Islam dan dikenai peraturan Islam.
Kedua, pintu masuk kedua
khusus anak-anak yang sejak kecil lahir menjadi muslim, lahir dari keluarga muslim,
belajar agama Islam, dan tidak pernah keluar dari agama Islam, maka hukum wajib
berlaku ketika anak sudah baligh (dewasa). Dengan berlakunya hukum wajib kepada
orang yang sudah bersyahadat, dan ketika usia anak menjadi dewasa, maka sejak
itu realitas sosialnya juga harus ditata dengan mengggunakan norma Islam. Itu
artinya setiap orang sudah bersyahadat dan anak-anak yang menjadi dewasa harus
menaggung konsekuensi sebagai muslim dengan menjalankan ibadah wajib dan
sunnah. Yang lebih penting lagi adalah ketika seorang muslim harus konsisten
menjalankan amal ibadah untuk mencari keridlaan-Nya sebagaimana diperintahkan
Allah AWT.
Penciptaan manusia dalam
keadaan sebaik-baiknya, menurut Al-Ghazali merupakan kemurnian sifat dasar
manusia. Manusia lahir kedunia dalam keadaan baik, dan untuk mendatangkan
kebaikan, tetapi ia harus memelihara dan mengembangkan kebaikannya secara
maksimal. Dalam diri manusia ada benih kebaikan dan keburukan, jika kebaikan
yang dipelihara maka manusia akan menjadi atau mempunyai sifat yang baik.
Doktrin Islam yang meliputi
hukum wajib, hukum sunnah dan hukum sosial dengan segala perangkatnya sama-sama
memiliki konsekuensi kebaikan dan keburukan. Seseorang yang tidak mau
menjalankan ibadah wajib, maka yang bersangkutan hukumnya orang menjadi dosa.
Apabila seseorang melaksanakan ibadah, maka hukumnya dia menjadi orang yang
berpahala. Padahal amal ibadah seseorang akan diberikan oleh Allah seberapapun
pelanggaran yang ditempuhnya, kadar dosanya juga akan diberikan kepada yang
bersangkutan. Ada faktor lain yang bisa mempengaruhi praktik pengalaman ajaran
agama, diantaranya adalah:
a. Faktor sejarah. Proses perjalanan waktu telah menunjukkan adanya
perubahan, dimulai dari kondisi alam, faktor interaksi sosial, akulturasi agama
dan kebudayaan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi dalam menentukan praktik
pengalaman ibadah. Tidak menutup kemungkinan pelaksanaan praktik agama pada
masa lalu masih menjadi bagian yang dilestarikan dalam Islam.
b. Fungsi agama. Agama pada tingakatan bagi individu dan sosial
memberikan sumbangannya untuk mewujudkan adanya kesalehan pribadi dan kesalehan
sosial sekaligus, karena setiap manusia akan menjalankan perintah-perintah
agama sampai pada titik kesempurnaannya. Agama menjamin kelancaran hubungan
antara individu dengan Tuhan. Nottingham juga menyebut manusia mempunyai
kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan memelihara sampai
batas minimal. Agama memiliki daya paksa untuk melaksanakan kewajiban, minimal
diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Dalam peranan ini agama
telah membantu menciptakan sistem-sistem sosial yang utuh dan terpadu. Kemudian
agama juga telah memainkan peran vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang
mendukung dan memperkuat adat istiadat (Nottingham, 1997: 35-36).
c. Kesadaran dan pemahaman terhadap agama. Agama satu sisi memberikan kelonggaran kepada umatnya
untuk menjalankan ajaran agama dengan suka rela tanpa paksaan. Namun pada
kondisi tertentu, Islam memberi kewenangan yang ketat dan memainkan peran daya
paksanya untuk mewujudkan sebuah kestabilan sosial. Namun secara sosiologis,
praktik pengalaman agama itu sangat dipengarugi
oleh adanya kesadaran dan pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya.
Proporsi kesadaran dan pemahaman agama memang menjadi lebih dominan ketimbang
daya paksanya untuk pengamalan praktik agama. Pemberian peringatan dalam
pengamalan ajaran Islam, lebih bersifat pendidikan untuk mendorong lahirnya
sebuah kesadara. Islam kemudian memberikan daya paksanya ketika keringanan yang
sudah diberikan Allah sama sekali tidak diindahkan, dan ada kecenderungan untuk
dilanggarnya, maka sebuah konsep zalim diberlakukan, sehingga dengan terpaksa
Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang berbuat dosa.
Batasan
Mengenai Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu
citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang
memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
“individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang
dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya
yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka
yang komprehensif untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri-ciri khusus dari sebuah
kebudayaan yang masing-masing masyarakat yang berbeda. Pada masyarakat Barat
makan sambil berjalan, bahkan setengah berlari adalah hal yang biasa karena
bagi mereka “the
time is money”. Hal ini jelas berbeda dengan
masyarakat timur. Jangankan makan sambil berjalan, bahkan makan berdiri saja
sudah melanggar etika. Walaupun demikian, secara garis besar, seluruh
kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki sifat-sifat hakikat yang sama.
Sifat-sifat hakikat kebudayaan sebagai berikut:
- Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
- Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
- Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya.
Kebudayaan mencakup aturan-aturan
yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan
ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Bertemunya
Agama dan Budaya
Agama dan budaya memang dalam
praktik keseharian harus menunjukkan tingkat keharmonisannya, meski tanpa harus
menghilangkannya jati dirinya masing-masing, karena agama bersumber dari
keyakinan dan kebenaran hakiki yang tidak mungkin lebur dalam sebuah kebudayaan
yang memiliki sifat relatifistik di tengah perubahan sosial. Agama dan budaya
memungkinkan melakukan kerja bersama untuk mengantisipasi “masalah kemanusiaan”
yang akan terjadi di era globalisasi. Problem-problem universal tentang
kemanusiaan tersebut, merupakan pilihan yang paling mungkin untuk mempertemukan
antara agama dan budaya.
Dalam kaitan persoalan atau
lebih spesifik bisa ditanggulangi secara bersama, sebagai akibat dari kemajuan
zaman, manjadi tidak krusial ketika umat Islam juga ikut ambil bagian dalam
manghadapi persoalan yang mungkin timbul di masyarakat. Isu-isu modernisasi dan
globalisasi dengan segala efek-efeknya, bukan menjadi alasan pembenar untuk
tidak tampil menjadi penjembatan pengurai persoalan. Manusia budaya akan selalu
tampil dengan problematikanya, dan kemapuan mengurai menjadi lebih bermanfaat,
sehingga tatanan kehidupan menusia menjadi lebih tertata.
Transformasi sosial yang
pasti terjadi di masyarakat berbudaya, harus sama-sama dijaga oleh kelembagaan
agama dan sosial. Peran ini jelas untuk mencari jalan keselamatan sebagai
bentuk sumbangan agama terhadap kebudayaan agar tidak mengalami kepunahan.
Dalam kasus ini jelas kehadiran umat Islam mutlak diperlukan, ketika gempuran
modernisasi terus menyerbu ke jantung-jantung tradisi, yang mengakibatkan budaya
berada dalam nadir dan terus diselamatkan. Dalam konteks ini jelas eksistensi
agama menjadi bagian penting, dan harus mendominasi pemikiran-pemikiran yang
memiliki relefansi dengan kebudayaan.
Islam dengan tawaran
pembaharuan dan langkah-langkah pembaharuan dan langkah penyempurnaan terhadap
setiap budaya dan tradisi yang ada, pada prosesnya akan bertemu pada sebuah
kebersamaan dan saling memberi manfaat. Langkah strategis inilah yang
mempertemukan agama Islam sebagai sumber inspirasi kemajauan kebudayaan dengan
masyarakat yang memiliki tanggung jawab pengelola dan sekaligus penjaga
kebudayaan.
Agama dalam kebudayaan
Kebudayaan
tidak bisa disamakan dengan agama, tapi kebudayaan tidak bisa dipisahkan dalam
proses kreatif dan inovatif manusia dalam kesehariannya, karena pada praktiknya
manusia membutuhkan agama dan kebudayaan sekaligus sebagai sarana penyempurna
dirinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya.
Sementara agama dalam membangun basis kultural di masyarakat juga akan
membutuhkan agama dalam upaya menunjukkan eksistensinya. Posisi saling
membutuhkan ini, akan menunjukkan hubungan keduanya bisa menemukan pola yang
ideal, yaitu saling melengkapi dan saling mendukung pada wilayah
religio-kultural dalam kehidupan manusia.
Kebudayaan
dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide-ide,
gagasan, kelakuan sosial, dan benda-benda kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa
dan karsa manusia untuk mencapai sebuah kemajuan baik dalam lingkup individu
dan kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan dalam hasil penciptaan
manusi. Kebudayaan ada bersama dengan adanya manusia berkarya, sehingga
menghasilkan produk-produk kebudayaan, baik sifatnya material maupun
immaterial. Manusia akan menemukan dan menghasilkan kebudayaannya, ketika
masing-masing manusia memainkan peran kreatifitasnya untuk mewujudkan apa yang
ada dalam benak pikirannya menjadi alam realitas (Poespowardojo, 1993: 110)
Kemampuan
manusia mewujudkan alam pikiran menjadi alam realitas yang diproduk menjadi
“kebudayaan” yang tidak pernah berhenti, sudah menjadi tugas kekhalifahan yang
disanggupinya, ketika makhluk lain tidak sanggup menanggungnya.
Manusia
memang dilengkapi oleh Allah hal-hal berkaitan dengan kecerdasan, ide,
pemikiran, rasa serba ingin, tingkah laku, dan perbedaan perilaku diantara
manusia. Semua ini merupakan satu sistem yang mengarah kepada proses yang akan
menghasilkan kebudayaan monumental sebagai hasil konkret usaha manusia.
Bertemunya
agama dan kebudayaan dalam diri manusia, dimana agama akan masuk dalam
keyakinan dan kebudayaan, maka titik utama berada pada ide atau gagasan secara universal yang sedang
dibangun, sehingga tidak terjadi kontra produktif dengan sejumlah daftar
keinginan manusia.
Hadirnya
agama dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia, karena kebudayaan
sama-sama melekat pada manusia. agama dan kebudayaan saling mempengaruhi secara
timbal balik. Rukun Iman melampaui rasionalitas manusia, mau Islam atau kafir
adalah pilihan sadar manusia. Setiap manusia diperintah untuk menggunakan
akalnya, ini adalah perintah berbudaya. Dan akhirnya Islam dan budaya adalah
dua hal yang hidup bersama tanpa pertentangan. Diskusi antara agama dan
kebudayaan merupakan tema yang tidak akan ada habisnya, dan selalu menarik
untuk dikaji, karena memang keduanya bersifat dinamis, dan harus mampu
memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi manusia. Kedekatan hubungan
antara agama dan kebudayaan sebagai wujud perilaku manusia menuju
kesempurnaan.
Agama dan Budaya dalam Fakta Sosial
Dialetika agama dan budaya di mata
masyarakat muslim secara umum banyak melahirkan penilaian subjektif-pejoratif.
Sebagian bersemangat untuk menseterilkan agama dari kemungkinan akulturasi
budaya setempat, sementara yang lain sibuk membangun pola dialetika antar
keduanya. Keadaan demikian berjalan secara periodik, dari masa ke masa. Terlepas
bagaimana keyakinan masing-masing pemahaman, yang jelas potret keberagamaan
yang terjadi semakin menunjukkan suburnya pola akulturasi, bahkan sinkretisasi
lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialetika antar agama dan budaya itu,
dalam Islam terlihat pada fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan
perilaku keberagamaan dari tradisi Islam murni.
Fenomena dialetika secara empirik dapat di amati secara riil dalam
tradisi keberagaman masyarakat muslim misalnya, pada pola relasi para peziarah
muslim kejawen dengan cultural space (medan budaya) makam yang ada di wisata
ritual tertentu. Dari proses dialetika itu secara umum dapat di ketahui bahwa
karakteristik peziarah muslim kejawen memiliki banyak keunikan dan daya Tarik
tersendiri. Unik dalam arti adanya kompleksitas dan pluralitas ekspresi
keberagamaan yang bernuansa mistis, baik dari cara pemahaman keagamaan maupun
perilaku keberagamaannya. Misalnya dengan mendatangi medan budaya tertentu yang
dianggap sakral,
keramat maupun suci, dan menyakini bahwa tempat tersebut berpotensi memberikan
berkah kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari tempat tersebut.
Agama yang ada di masyarakat itu ada
kalanya tampil dengan ekspresi yang sangat unik dan beragam. Keunikan itu terlihat
terutama ketika mereka menganggap dan meyakini bahwa alam itu sebagai subjek,
yaitu memiliki kekuatan, petuah, pengaruh dan sacral. Kayakinan ini pada
gilirannya memanifestasi menjadi praktik mitos yang sangat subur di kalangan
mereka. Sementara itu agama teks senantiasa mengembalikan secara autentik
keyakinan mereka kepada hal yang lebih abstrak, yaitu doktrin Allah berupa
wahyu.
Praktik keberagamaan para peziarah di
atas, dalam realitasnya seringkali mengundang perdebatan serius di kalangan
masyarakat muslim. Sebagian komunitas mengatakan bahwa perilaku seperti ini
adalah syirik, khurafat, takhayul, karena dalam praktiknya mereka selalu
meyakini adanya kekuatan selain dan di luar Tuhan. Kegiatan tersebut acapkali
diklaim sebagai perilaku bid’ah, karena perilaku spiritual yang demikian tidak
ada landasan yang jelas dari Islam. Lebih dari itu komunitas inisemakin
memperkokoh komitmen keagamaannya untuk memberantas praktik ritual maupun
praktik mitis senada. Komunitas inilah yang seringkali di sebut dengan kelompok
muslim puritanis.
Namun demikian, terdapat juga komunitas
lain yang mementahkan pandangan di atas, yang mengatakan bahwa praktik seperti
itu dianggap sah-sah saja dalam agama. Sebab untuk sampainya komunikasi kepada
tuhan bagi komunitas ini di perlukan adanya perantara, yang dalam bahasa Islam
di kenal dengan istilah wasilah (perantara). Menurut keyakinan kelompok ini,
wasilah tersebut seringkali terdapat di tempat-tempat suci, sacral yang mereka
datangi.
Sementara itu muncul pula kelompok lain
yang lebih ekstrem yang mengatakan bahwa perilaku seperti itu, menurut
komunitas ini hanya akan membuat umat Islam malas kerja. Bagi kelompok ini,
umat Islam yang ingin kaya tidak ada jalan lain kecuali kerja keras, ulet,
tekun dan tawakal.
Keberagaman ekspresi keberagamaan di atas,
baik yang muncul dari komunitas masyarakat muslim kejawen itu sendiri maupun
dari subjektifitas penilaian keagamaan yang datang dari luar komunitasnya, pada
hakikatnya menunjukkan adanya perbedaan cara pandang tentang tarik menarik pola relasi agama dan
budaya di maksud. Melalui cara ini, sebagian di antara mereka optimis bahwa Islam
akan lebih berkembang secara efektif. Sementara yang lainnya justru sebaliknya.
Islam akan berkontaminasi dengan keruhnya budaya luar, dan secara perlahan akan
menggeser keaslian Islam itu sendiri.
Hubungan
Agama dan Budaya dalam Islam
“Islam itu sesungguhnya lebih dari
satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Demikian
diungkapkan oleh H.A. Gibb dalam bukunya yang terkenal Wither Islam. Pengakuan
senada juga banyak diberikan oleh pakar Islam dari kalangan Barat. Jika pihak
Barat banyak memberikan pengakuan yang kurang lebih sama, konon lagi dari
kalangan Islam sendiri, seperti keyakinan umum yang berkembang di kalangan umat
Islam bahwa Islam adalah agama yang universal dan komprehensip meliputi
berbagai bidang (Q.S.16:89), meskipun penjelasannya ada yang bersifat rinci dan
garis besar. Oleh sebab itu, Islam disebut juga sebagai agama yang “hadir di
mana-mana”, sebuah
pandangan yang meyakini bahwa di mana-mana kehadiran Islam selalu memberikan
panduan etik yang benar bagi setiap tindakan manusia.
Ajaran Islam yang demikian telah
mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-upaya
tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi
yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan
andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban dunia. Ayat-ayat Alquran memang
banyak memberikan dorongan kepada umat manusia bagi pengembangan kebudayaan.
Sifat akomodatif Islam terhadap
budaya tidak berarti bahwa Islam menerima begitu saja segala wujud kebudayaan
yang ada. Karena jika demikian Islam seolah-olah dipahami tidak memiliki
nilai-nilai dasar bagi pengembangan kebudayaan. Karena itu pertanyaan
selanjutnya adalah dalam hal apa Islam dapat berakulturasi dan dalam batas apa
yang tidak? Apakah Islam melalui ajaran-ajaran dasarnya mendukung bagi
pengembangan kebudayaan? Sejauhmana peran yang dimainkan umat Islam bagi
pengembangan kebudayaan? Bagaimana model akulturasi antara agama dan budaya yang
ditawarkan Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dikaji berdasarkan perspektif
kerukunan.
Dasar-Dasar Islam
dalam Pengembangan Budaya.
Ada sejumlah prinsip dasar yang terkandung
di dalam Alquran dan Hadist, sehingga
umat Islam dapat mengembangkan kebudayaan secara maksimal. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain:
- Penghargaan terhadap akal fikiran
Islam menempatkan akal fikiran dalam
posisi yang tinggi, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Ali Imran:190, 191. Yang artinya Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S.3:190,191).
- Anjuran menuntut ilmu
Anjuran atau
dorongan Islam agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan ini antara lain
dijelaskan dalam surah al-Mujadalah: 11 yang artinya Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.(Q.S.58:11).
Hadis nabi
berbunyi: ”Menuntut Ilmu itu wajib atas
tiap-tiap orang Islam, laki-laki maupun perempuan”.Dalam hadis lain juga
dinyatakan: “Tutntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
- Larangan untuk taklid
Kecaman
Allah terhadap orang yang taklid antara lain dijelaskan Alquran sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al-Isra: 36 yang artinya Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.(Q.S.17: 36).
- Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
Penghargaan Islam
akan nilai suatu kreasi dijelaskan lewat keterangan hadis nabi: “Barangsiapa
memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan mendapat ganjaran orang-orang
yang mengerjakan cara yang baik itu sampai hari kiamat”.
- Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Dorongan
agar manusia berhasil di dalam kehidupan dunia dijelaskan oleh Alquran surat
Al-Qashas:77 yang artinya Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.(Q.S.28: 77).
Motivasi
yang diberikan Alquran dan Hadis Nabi dalam
hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti telah menghasilkan pretasi
budaya yang luar biasa. Puncaknya sebagaimana terlihat pada masa Abbasiah yang
kemudian dikenal dengan kebudayaan Islam. Prestasi demikian didukung oleh peran
penguasa Islam (khalifah), yang memberikan perhatian terhadap pengembangan
budaya. Para ilmuwan sangat dilindungi, diberikan perhatian yang istimewa oleh
para penguasa tanpa memandang latar belakang ilmuwan tersebut: apakah
beragama Islam atau tidak, bangsa Arab atau tidak.
Tidak hanya itu, orang-orang yang kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk pengembangan budaya Dengan kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya, terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Tidak hanya itu, orang-orang yang kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk pengembangan budaya Dengan kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya, terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan
yang dikembangkan oleh umat Islam tersebut meliputi berbagai bidang keilmuwan,
seperti medis, astronomi, fisika, matematika,
arsitektur, dan ilmu-ilmu lain di samping ilmu agama. Ilmuwan-ilmuwan yang
sangat berjasa dalam pengembangan ilmu tersebut di antaranya adalah Ibn Rusyd,
Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina (kedokteran), Al-Mawardi (tata negara),
Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar Khayyam (matematika), dan lain-lain.
Akulturasi Islam
dan Budaya di Indonesia
Sejak awal perkembangannya, Islam di
Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang
banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan
agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua
hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli
sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau lokal
tradition (tradisi lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”,
yang dipengaruhi Islam. Tradisi
besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar.
Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan
syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam.
Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang
dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi lokal, Islamicate)
adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di
dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi
antara Islam dan Budaya lokal ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan lokal genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang
tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain lokal genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap
budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan
memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun
segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan
masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi
budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di
masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal
ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan
ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Budaya-budaya lokal yang kemudian
berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000
hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai
proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan
kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi
tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni,
tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata
lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil
yang cukup besar dalam pengembangan budaya lokal.
Pada sisi lain, secara fisik
akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid
Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya
benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur lokal. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang
bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung
Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur
buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercusuar
dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam perkembangan selanjutnya
sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi
sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang
mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di
Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian
berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri
metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat,
tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain
Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan
sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di
daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat
beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan
sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan
mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa.
Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama
oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu,
juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam
aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di
antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya lokal dengan
Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang
disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cerita
(wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali
wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya lokal pra-Islam kemudian
dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia
yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan
pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran
bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi
dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan
budaya-budaya lokal nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di
daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah
Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam
acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
- PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pengkajian makalah diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
antara agama dan budaya itu saling mempengaruhi satu sama lain. Batasan-batasan
agama juga merupakan aspek penting dalam hal ini, batasan agama merupakan
ketentuan bagi umat muslim untuk tidak sewenang-wenang dalam melakukan suatu
perbuatan karena di dalam agam Islam sendiri mempunyai suatu landasan hukum
yang berlaku yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan dalam batasan budaya
merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan atau dipatuhi didalam masyarakat
tertentu karena didalam batasan budaya ada sebuah norma-norma yang terdapat di
masyarakat.
Kebudayaan
tidak bisa disamakan dengan agama, tapi kebudayaan tidak bisa dipisahkan dalam
proses kreatif dan inovatif manusia dalam kesehariannya, karena pada praktiknya
manusia membutuhkan agama dan kebudayaan sekaligus sebagai sarana penyempurna
dirinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya.
Sementara agama dalam membangun basis kultural di masyarakat juga akan
membutuhkan agama dalam upaya menunjukkan eksistensinya. Posisi saling
membutuhkan ini, akan menunjukkan hubungan keduanya bisa menemukan pola yang
ideal, yaitu saling melengkapi dan saling mendukung pada wilayah religio-kultural
dalam kehidupan manusia.
Hadirnya
agama dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia, karena kebudayaan
sama-sama melekat pada manusia. agama dan kebudayaan saling mempengaruhi secara
timbal balik. Rukun Iman melampaui rasionalitas manusia, mau Islam atau kafir
adalah pilihan sadar manusia. Setiap manusia diperintah untuk menggunakan
akalnya, ini adalah perintah berbudaya.
- DAFTAR PUSTAKA
M. Thoyibi, dkk. 2003. Sinergi Agama dan Budaya Lokal.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Abdullah, Amin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Roibin. 2009. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat
Kontemporer. Malang: UIN-Malang Press.
Ummatin, Khoiro. 2015. Sejarah Islam dan Budaya Lokal.
Yogyakarta: Kalimedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar